Mengungkap Aib Seseorang
Pada dasarnya diharamkan bagi seorang muslim mengungkapkan aib saudaranya kerana ini termasuk kedalam perbuatan ghibah, iaitu mengungkapkan aib saudaranya sesama muslim pada saat orang itu tidak ada dihadapannya dan saudaranya itu tidak menyukainya jika berita tersebut sampai kepadanya tanpa adanya suatu keperluan.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ
“Dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Al Hujurat : 12)
Di dalam shahih Muslim dari hadits al ‘Ala bin Abdurrahman dari ayahnya dari Abu Hurairah bahawa Nabi saw bersabda:
“Tahukah kalian apa itu ghibah?” para sahabat menjawab,”Allah dan Rasul-Nya lah yang mengetahuinya.” baginda saw bersabda, “Engkau menyebutkan apa-apa yang tidak disukai oleh saudaramu.” Baginda saw ditanya,”Apa pendapatmu, jika pada saudaraku itu benar ada apa yang aku katakan?” baginda saw bersabda,”Jika apa yang engkau katakan itu benar (ada pada saudaramu) maka sungguh engkau telah melakukan ghibah dan jika apa yang engkau katakan itu tidak benar maka engkau telah berdusta.”
Namun ghibah atau menyebutkan aib saudaranya untuk suatu kepentingan maka dibolehkan, dan diantara hal-hal yang dibolehkannya ghibah adalah :
1. Adanya unsur kezaliman.
Dibolehkan bagi seorang yang dizalimi untuk mengadukannya kepada penguasa atau hakim atau orang yang memiliki kemampuan untuk menghentikan kezaliman orang yang berbuat zalim itu kemudian orang itu mengatakan,”Sesungguhnya si A telah mezalimiku, dia telah berbuat ini kepadaku, dia telah mengambil itu dariku atau sejenisnya.”
2. Meminta pertolongan untuk menghentikan kemungkaran dan mengembalikan orang-orang yang berbuat maksiat kepada kebenaran dengan penjelasannya yang mengatakan kepada orang yang diharapkan kesanggupannya untuk menghilangkan kemungkaran dengan mengatakan,”Si A melakukan ini dan itu maka cegahlah dia, atau perkataan sejenisnya.” Maksudnya adalah untuk menghilangkan kemungkaran dan jika tidak ada maksud yang demikian maka diharamkan.
3. Meminta fatwa, seperti penjelasannya kepada seorang mufti,”Ayahku telah menzalimiku atau saudaraku atau fulan dengan perbuatan ini. Adakah balasannya? Bagaimana caranya untuk melepaskan diri dari perbuatan itu dan mendapatkan hakku serta mencegah kezaliman itu terhadapku?’ atau perkataan-perkatan seperti itu, maka hal ini dibolehkan untuk suatu kepentingan.
Namun yang lebih baik baginya adalah dengan mengatakan,”Bagaimana pendapatmu tentang seorang lelaki yang melakukan perbuatan ini dan itu, atau seorang suami atau isteri yang melakukan ini dan itu atau sejenisnya.” Ia hanya menyampaikan maksudnya tanpa menyebutkan orangnya meski jika menyebutkan orangnya pun dibolehkan, berdasarkan hadits Hindun yang mengatakan,”Wahai Rasulullah saw sesungguhnya Abu Sufian adalah seorang yang kikir…” dan Rasulullah saw tidaklah melarang Hindun.
4. Memberikan peringatan kepada kaum muslimin dari keburukan dan kejahatannya. Hal itu dalam lima bentuk sebagaimana disebutkan Imam Nawawi:
a. Mengungkapkan ‘cacat’ para perawi dan saksi yang memiliki cacat, ini dibolehkan menurut ijma’ bahkan diwajibkan demi menjaga syariah.
b. Memberitahukan dengan cara ghibah saat bermusyawarah dalam permasalahan keluarga besan, atau yang lainnya.
c. Apabila engkau menyaksikan orang yang membeli sesuatu yang mengandung cacat atau sejenisnya lalu engkau mengingatkan si pembeli yang tidak mengetahui perihal itu sebagai suatu nasihat baginya bukan bertujuan menyakitinya atau merosakkannya.
d. Apabila engkau menyaksikan seorang yang faqih, berilmu berkali-kali melakukan perbuatan fasiq atau bid’ah sedangkan orang itu menjadi rujukan ilmu sementara kemudharatan yang ada di dalam perbuatan itu masih tersembunyi maka hendaklah engkau menasihatinya dan menjelaskan perbuatannya itu dengan tujuan memberikan nasihat.
e. Terhadap seorang yang memiliki kekuasaan (amanah) yang tidak ditunaikan sebagaimana mestinya disebabkan dirinya tidak memiliki kemampuan atau kerana kefasikannya maka hendaklah hal itu diungkapkan kepada orang yang memiliki autoriti atau kemampuan untuk menggantikan orang tersebut dengan orang lain yang lebih mampu, tidak mudah tertipu dan istiqomah.
5. Apabila kefasikan atau bid’ah yang dilakukannya sudah tampak terang maka dibolehkan mengungkapkan yang tampak terang itu saja dan tidak dibolehkan baginya mengungkapkan aib-aib selain itu kecuali jika ada sebab lainnya.
6. Sebagai pengenalan atau pemberitahuan… apabila seseorang telah dikenal dengan gelar si Rabun, si Pincang, si Biru, si Pendek, si Buta, si Capik atau sejenisnya maka dibolehkan baginya untuk mengenalkannya dengan perkataan itu dan diharamkan menyebutkannya dengan maksud menghinakannya akan tetapi jika dimungkinkan untuk pengenalannya dengan selain gelar-gelar itu maka hal ini lebih utama. (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 11445 – 1146)
Dengan demikian dibolehkan mengungkapkan aib korupsi yang dilakukan para pemimpin disebabkan adanya kemaslahatan didalamnya iaitu untuk menghentikan kezalimannya yang dapat merugikan negara dan menyengsarakan masyarakat dan agar kepimpinan lainnya tidak melakukan perbuatan itu atau pun agar pemimpin itu diganti dengan pemimpin lainnya yang lebih baik dan amanah.
Mentaati Pemimpin
Selain hadits-hadits sebutkan diatas yang memerintahkan seorang muslim untuk mendengar dan mentaati pemimpinnya maka terdapat hadits-hadits lainnya, antaranya:
Sabda Rasulullah saw,”Apa yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menemui keadaan itu?’ Beliau saw bersabda,”Hendaklah engkau berkomitmen (iltizam) dengan jama’atul muslimin dan imam mereka.” (HR. Bukhari)
Sabda Rasulullah saw,”Barangsiapa yang melepaskan tangannya (baiat) dari suatu keaatan maka ia akan bertemu Allah pada hari kiamat tanpa adanya hujjah (alasan) baginya. Dan barang siapa mati sementara tanpa ada baiat di lehernya maka ia mati seperti kematian jahiliyah.” (HR. Muslim)
Maksud kata “pemimpin/imam” yang harus didengar dan ditaati di dalam hadits-hadits di atas adalah pemimpin seluruh kaum muslimin atau khalifah atau imam syar’iy yang dipilih oleh Ahlu al Halli wa al Aqdi yang merupakan perwakilan dari seluruh kaum muslimin bukan pemimpin suatu organisasi, jama’ah, parti, perkumpulan atau bukan pula penguasa suatu negara, pemimpin suatu daerah atau yang sejenisnya.
Sehingga apabila seorang pemimpin suatu organisasi atau jamaah atau seorang penguasa suatu negeri memerintahkan kemaksiatan walaupun dirinya masih melaksanakan solat maka ia tidak boleh ditaati karena tidak ada ketaatan didalam maksiat kepada Allah swt, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”Tidak ada ketaatan dalam suatu kemaksiatan akan tetapi ketaatan kepada hal yang ma’ruf.” (HR. Bukhori dan Muslim)-(baca: Hukum Berhenti Berjama'ah)
Wallahu A’lam
No comments:
Post a Comment